Header Ads

Mengenang Tragedi Poso


“Seandainya dulu tidak ada kejadian itu, mungkin kita masih di dalam kehancuran.”


Peristiwa Kerusuhan yang terjadi di Poso tahun 1998-2001 lalu nampaknya tidak pernah lekang dalam ingatan Fatimah Lesputy. Walau saat itu ia masih belia, namun peristiwa itu sangat lekat di benaknya.  “Walau kejadiannya utamanya di Poso, namun dampaknya sampai ke kampung kami.” Ujarnya.


Seperti apa yang ditulis oleh republika.co.id bahwa pada masa itu, warga Islam ketakutan karena menganggap laskar Kristen akan menghabisinya. Warga Kristen pun juga ketakutan karena menganggap laskar Islam akan menghabisinya. Kedua warga Islam dan Kristen pun mengungsi. Demikian pula warga Hindu yang merasa berada di tengah peperangan bernuansa SARA.


Sambil mencoba mengingat, wanita kelahiran Kota Bula, Ambon ini bercerita bahwa pada saat itu ia dan keluarganya masih belum Islam, isu-isu kerusuhan telah sampai di kampungnya. Hari itu hari Ahad, sebelum kerusuhan sampai di Ambon tepatnya di Kota Bula, Desa Salas. Fatimah dan Abangnya sedang main ayunan, sedangkan ibunya di dapur sedang memasak bubur. Tiba-tiba dengar suara ledakan bom. Lokasi ledakan bom tersebut hanya berjarak sekitar 3 rumah dari rumah Fatimah, tepatnya di belakang sekolah SD. Ketika bom itu meledak, masyarakat berlarian. Akan tetapi salah satu Pamannya lari ke lokasi ledakan itu terjadi untuk menyelamatkan Ibu sang paman yang tidak dapat berjalan, namun alhasil keduanya meninggal dunia akibat serangan golok di lehernya. Tak hanya itu, dua anak perempuan, dan satu anak laki-laki pamannya pun ikut terbunuh.


“Di belakang sekolah itu ternyata tempatnya musuh, bom itu sebagai kode bahwa musuh telah masuk ke kampung-kampung.!” ucapnya pada hari Rabu (09/10) kemarin.


Wanita yang kini sekolah di STID Mohammad Natsir Jakarta itu kembali menceritakan bahwa selepas ledakan bom itu terjadi, seluruh masyarakat di Desa Salas segera menyiapkan barang-barang yang perlu dibawa dan bergegas pergi meninggalkan desa untuk bersembunyi di hutan dalam kondisi ketakutan. 


“Pas kejadian itu ibu ana langsung spontan, ngambil kain, trus ana digendong di belakang, adik ana di depan, bapak ana waktu itu lagi tidur langsung spontan bangun, ngambil tas kecil, isinya uang sama KTP, Ijazah, trus akta, kayak gitu-gitu.” Kenangnya.


Dalam keadaan ketakutan semua orang berlarian ke hutan, bahkan pada saat itu ayah dan pamannya sempat hilang dan berpisah dari keluarga Fatimah. “Awalnya kita bareng, entah bagaimana kita pisah, bapak ana sama paman ana, mereka pisah dari kita.” Ujarnya.


Ketika masyarakat dikumpulkan di satu tempat di hutan, Fatimah dan keluarganya baru sadar bahwa ayah dan pamannya tidak ada, tiga hari berlalu, tiba-tiba pagi harinya mereka muncul dari belakang tenda.


“Itulah, kami merasakan sedikit kebahagiaan.” Kata Fatimah dengan mata berkaca-kaca.


Selama tinggal di hutan, makanan yang dapat dimakan oleh mereka salah satunya adalah pohon sagu. Para Bapak-bapak membuka baju yang mereka kenakan untuk dijadikan pemeras sagu yang kemudian diolah untuk bisa dimakan, ada pula yang makan jambu kayu, jambu hutan, juga daun kedondong.


Ketika 4 bulan lamanya tinggal di hutan, tibalah suatu hari dimana seorang ustadz yang sudah lanjut usia bersama Istrinya datang ke hutan tersebut.


“Mereka orang baik!” kata Fatimah.


Ustadz itu mengumumkan bahwa maghrib nanti ada kapal yang akan mengangkut masyarakat yang tengah berlindung di hutan itu ke kota Ambon, dengan syarat harus masuk Islam. Sampai di Ambon Kota, mereka akhirnya bersyahadat untuk masuk Islam.


“Dari pancaran mata orang-orang tua, ada kebencian kepada Islam. Dulu kami masuk Islam tidak sepenuhnya, jadi cuma takut ancaman saja. Untuk kondisi sekarang karena secara perlahan tau tentang Islam, kebanyakan mereka bersyukur, emang dulu kita menderita tapi di balik penderitaan itu ada hikmahnya. Seandainya dulu tidak ada kejadian itu, mungkin kita masih di dalam kehancuran.” Jawab Fatimah ketika ditanya bagaimana hikmah yang dapat diambil dari kejadian tersebut.


“Ketika kita melarikan diri, rumah sudah hancur terkena bom. Sumur-sumur banyak mayat (termasuk mayat sebagian kerabatnya). Ketika kami sudah masuk Islam, terus kampung kita diperbaiki lagi, rumah-rumah dibangun lagi. Seluruh masyarakat di kampung mulai bercocok tanam lagi, ada juga yang menjadi nelayan.” Tutupnya.
(Yusi Surya Rahayu/ MARWAH)

1 komentar: