Sumayyah Binti Khabath Radiyallahu Anha Lebih Memilih Islam Dari Nyawanya
Oleh: Iin Indah Fauziah
Saat ini kita
akan menelusuri lembaran yang mengisahkan tentang kesabaran dalam menghadapi cobaan. Kisah ini akan senantiasa
terulang dalam berbagai kesempatan. Menggambarkan tentang perseteruan yang tak
ada habisnya antara keimanan dan kekafiran.
Sebagaimana
riwayat dari Abdullah bin Mas’ud radiyallahu anhu ia berkata:
“Orang yang pertama kali menyatakan
keislamannya ada tujuh orang: Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam, Abu
Bakar, Ammar, Sumayyah, Suhaib, Bilal dan Miqdad radiyallahu anhum. Adapun
Rasulullah, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala
memberikan perlindungan kepada beliau melalui tangan pamanya Abu Thalib.
Adapun Abu Bakar maka Allah memberikan perlindungan kepadanya melalui tangan
kaumnya. Adapun yang lainnya, maka mereka berada pada genggaman kaum musyrikin
sehingga mereka ditangkap dan dianiaya dengan memakaikan kepada mereka
belenggu-belenggu dari besi. Mereka di bakar di bawah terik matahari”. (HR. IBNU MAJAH)[1]
Kita akan bertemu dengan perempuan
pertama yang mati syahid dalam islam. Sosok perempuan yang suci, yang selalu di
kenang dalam sejarah. Selalu dihormati dan di junjung tinggi oleh islam dan
kaum muslimin.[2]
Sebagaimana Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah memilih seorang
perempuan yaitu Khodijah radiyallahu anha. Untuk menjadi orang pertama
yang beriman kepada agama ini. Dan menjadi orang pertama yang diberikan kabar
gembira dengan surge. Allah Azza wa Jalla juga memilih seorang perempuan
lain yang akan memasuki surga karena kesyahidannya.[3]
Dialah Sumayyah binti khabath radiyallahu
anha yang mendapat kabar gembira dari Rasulullah Sallallahu Alaihi wa
Sallam berupa surga. Sungguh merupakan kabar gembira yang tidak di
perolehnya dengan mudah, melainkan dia harus mengalami siksaan yang luar biasa
untuk itu.[4]
Ø
Siapakah sumayyah itu?
Sumayyah adalah seorang hamba sahaya
yang tuannya menikahkannya dengan seorang musafir dari Yaman yang bernama Yasir
bin Amir.
Kisah ini diawali dengan kedatangan
Yasir, dari Yaman bersama dua saudaranya, Al-Harist dan Malik, ke kota Mekkah
untuk mencari saudara mereka yang menghilang dalam beberapa tahun terakhir.
Sejak itu, mereka terus mencari ke berbagai pelosok negeri hingga sampai di
kota Mekkah. Tapi, di kota ini pun mereka tidak menemukannya. Karena itu
Al-Harist dan Malik memutuskan pulang ke Yaman. Sedangkan Yasir tetap tinggal
di Mekkah, karena merasakan suasana bahagia dan gairah yang aneh, sehingga dia
memilih tetap tinggal di Mekkah. Yasir tidak tahu bahwa dengan keputusannya
itu, dia telah masuk gerbang sejarah baru yang terang benderang.[5]
Ia
pun memastikan menetap di kota itu dan menjalin persahabatan dengan Abu
Huzaifah bin Mughirah. Melihat kepribadian Yasir yang baik, Abu Huzaifah
akhirnya menikahkannya dengan Sumayyah binti Khabath, budak dari Huzaifah.
Perjalanan keluarga Yasir dan
Sumayyah berjalan harmonis. Setelah mereka dikaruniai seorang anak yang bernama
Ammar, Abu Huzaifah pun memerdekakan Sumayyah. Sempurnalah kebahagiaan keluarga
itu.[6]
Ø
Matahari islam terbit di atas jazirah Arab
Setelah manusia hidup berabad-abad
lamanya dalam kegelapan syirik dan kejahiliyaan. Tiba-tiba terbitlah matahari
islam di atas jazirah Arab untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan dan
kejahiliyaan. Menuju cahaya tauhid dan iman serta memindahkan mereka dari
kehidupan yang sulit dan keras menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, menuju
surga dunia dan akhirat. Menuju surga dunia yang kemudian akan berbuah surga
akhirat.
Waktu itu Ammar bin Yasir (anak dari
Sumayyah), mendengar tentang risalah Islamiyyah yang di bawa oleh rasulullah.
Maka terbukalah hatinya untuk seruan iman. Dia pun pergi ke rumah Arqam bin
Abil Arqam dengan langkah terburu-buru seolah berpacu dengan waktu.
Sesampainya di sana, dia bertemu
dengan Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam dan mendengarkan apa yang
beliau sampaikan. Saat itu dia merasa hatinya terbang tinggi karena begitu
gembira dapat memperoleh kesempatan yang luar biasa itu. Ammar tidak perlu waktu
lama untuk mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan Rasulullah. Dengan penuh
keyakinan dia pun membaca: “Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna
Muhammadan rasulullah”.[7]
Ammar bin Yasir pun pulang menemui
kedua orang tuanya dengan langkah yang juga terburu-buru. Dia ingin membawa
serta mereka ke surga dunia yang akan membuahkan kenikmatan bagi mereka di
surga akhirat nanti.
Ketika bertemu dengan orang tuanya,
Ammar langsung menawarkan kepada keduanya untuk masuk islam dan membacakan
kepada mereka beberapa ayat Al-Qur’an. Hati yang bersih dan suci itupun terbuka
untuk mendengarkan ayat-ayat Allah dengan seksama.
Yasir dan Sumayyah radiyallahu
anhuma merasakan bahwa secercah
cahaya menyinari sekitar mereka. Maka tanpa dikomando keduanya secara bersamaan
mengucapkan “Asyhadu alla ilaha Illallah wa asyhadu anna Muhammadan
rasulullah”.[8]
Di sinilah perbedaan antara Sumayyah
(ibu Ammar) dengan ibu Mus’ab (salah seorang sahabat Nabi). Ketika ibu Mus’ab mengetahui keislaman anaknya dan
keikut sertaannya bersama Muhammad, yang berarti perpisahannya dengan agama
ayah dan nenek moyangnya, ia menangis dan bersedih. Ia takut, kesal, dan marah.
Ia menegaskan larangannya dengan membiarkan dirinya kelaparan dan menghalangi
makanan serta minuman masuk ke dalam tubuhnya (mogok makan). Dan lihatlah,
betapa banyak orang-orang yang seperti itu pada hari ini.
Adapun ibunda Ammar, Sumayyah radiyallahu
anha, ia mendukung, menyokong dan menguatkan. Lebih dari itu, ia
menjalankan idealita itu dengan melakukannya sendiri, ia menemui syahidnya.
Maka, jadilah ia teladan dan fenomena sejati.
Seperti kaum muslimin lainnya,
Sumayyah dan keluarga menjalankan perintah Allah secara diam-diam. Mereka
melakukan shalat di rumah atau di gua-gua agar tidak diketahui oleh orang kafir
Quraisy. Walaupun demikian, karena begitu gencarnya kaum kafir Quraisy
melakukan permusuhan, tetap saja di antara kaum muslimin ada yang ketahuan
telah masuk islam.[9]
Dan Sumayyah adalah perempuan
pertama yang mengumumkan keislamannya kepada khalayak ramai sehingga dia pun
menjadi perempuan pertama yang menghadapi siksaan manusia di jalan Allah.
Ibnu Abdil Barr rahimahullah sangat
memuji Sumayyah dan menyebutkan betapa sabar dan teguhnya perempuan itu. Dia
berkata Sumayyah merupakan salah satu yang mendapat siksaan manusia di jalan
Allah. Namun dia senantiasa bersabar menghadapinya dan memasrahkan dirinya
kepada Allah. Dia adalah perempuan yang teguh, kuat, dan memiliki banyak
keutamaan.”[10]
Ø
Sabar dan pasrah
Tak lama berselang tersebarlah berita
keislaman mereka di kalangan Bani Makhzum. Mereka pun marah besar dan langsung
menimpakan siksaan yang amat berat kepada keluarga Yasir radiyallahu anhum.
Ketika matahari berada tepat di atas
kepala, mereka menyeret Yasir dan keluarganya ke padang pasir Mekkah. Mengenakan
kepada mereka baju besi, dan tidak memberi kepada mereka minum sedikit pun.
Yasir sekeluarga lalu di jemur di bawah terik matahari yang sangat panas dan di
siksa dengan berbagai bentuk siksaan. Hingga ketika mereka sudah tidak sanggup
lagi menahannya. Siksaan pun di hentikan untuk diulang kembali pada keesokan
harinya.[11]
Seluruh anggota keluarga itu
dianiaya di jalan Allah. Ayah, ibu dan anak. Mereka menerima penganiayaan yang
tidak dapat ditanggung oleh gunung sekalipun. Diantara rantai yang mengikat dan
begitu berat. Kulit yang terkelupas karena sayatan cemeti yang membuat kaku
seluruh badan.
Pukulan tongkat besi yang begitu
keras meremukkan tulang belulang. Lantas mereka dibiarkan di bakar di bawah
teriknya matahari padang sahara. Panas yang membakar kulit. Namun mereka tidak
melunak, mereka tidak melemah dan mereka tidak menyerah pada ancaman dan teror
itu.[12]
Ø Kabar gembira berupa surga
Kaum musyrikin terus-menerus menyiksa Sumayyah, suaminya Yasir, dan
anaknya Ammar radiyallahu anhum. Namun, mereka menghadapi semua itu
dengan sabar. Tiba-tiba Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam lewat di
dekat mereka. Beliau pun bersabda: “Bergembiralah wahai keluarga Ammar,
sesungguhnya balasan yang dijanjikan bagi kalian adalah surga”. Allahu
akbar….angin surga pun berhembus merasuki hati mereka sehingga beratnya siksaan
tak lagi terasa.
Sejak saat itu, barulah jiwa mereka merasa tenang. Kalau sebelumnya
mereka merasakan betapa beratnya siksaan yang mereka alami. Kini mereka malah
menantang datangnya siksaan itu di jalan Allah seraya memimpikan surga Allah
siang dan malam.[13]
Ø
Perempuan pertama yang mati syahid dalam islam
Sang shahabiyah yang mulia, Sumayyah
radiallahu anha senantiasa bersabar dalam menghadapi siksaan yang
ditimpakan kepadanya oleh Abu Jahal layaknya seorang pahlawan. Dia tidak
pernah mengeluh, keteguhannya tidak
pernah mengendur dan keimanannya tidak pernah melemah sedikit pun. Dengan
demikian, derajatnya semakin tinggi hingga menjadikannya perempuan terkemuka di
kalangan para perempuan penyabar.
Cobaan itu berbuah hadiah dari Allah
ketika Rasulullah memberi kabar gembira kepadanya berupa surga. Dengan demikian
Sumayyah telah menorehkan tinta emas di lembaran sejarah dengan menjadi
perempuan pertama yang mati syahid dalam islam. keistimewaan itu di peroleh
Sumayyah ketika Abu Jahal menusukkan tombak ke wilayah kehormatannya hingga
membunuhnya.
Mujahid berkata: “Perempuan pertama
yang mati syahid dalam islam adalah Ummu Ammar, Sumayyah radiyallahu anha.
Abu Jahal menusuknya dengan tombak di kemaluannya.[14]
Ia tabah bersama keluarganya. Mereka
berkorban. Mereka semua wafat. Sang ayah Yasir, ibunda Sumayyah.[15]
kecuali Ammar, pada hari itu, ketika ia tak sadarkan diri lagi karena siksaan
yang demikian berat. Mereka yang menyiksanya mengatakan, “pujalah olehmu
tuhan-tuhan kami!”. Tanpa sadar, Ammar
mengikuti apa yang mereka inginkan.
Ketika siuman, Ammar menyadari apa
yang telah dia ucapkan. Ia sangat menyesal. Beberapa sahabat yang
mengetahui hal itu segera
menceritakannya kepada Rasulullah.
Lalu Rasulullah membaca firman
Allah, “kecuali orang yang di paksa, sedang hatinya tetap teguh dalam
keimanan,,,” (QS. AN-NAHL:106).[16]
Pengorbanan ini juga merupakan wujud
tanda bukti dan keteguhan iman seseorang. Pengorbanan seseorang bagi agamanya
merupakan neraca keimanannya. Besar kecil iman seseorang, tergantung seberapa
besar kemauannya dan kesedihannya untuk berkorban. Allah berfirman, “Apakah
manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan, “kami telah beriman”
padahal mereka belum lagi di uji. (AL-ANKABUT: 2)
Begitulah Al-Qur’an memberikan
petunjuk. Pengorbanan merupakan esensi atau sari dari keimanan. Kekejaman dan
kekerasan yang dihadapi dengan kesabaran, keteguhan dan pantang mundur, akan
membentuk keutamaan iman yang cemerlang dan mengagumkan.
Masa keislaman Sumayyah memang tidak
terlalu lama. Tetapi namanya tetap semerbak sepanjang masa. Dialah sosok yang
melahirkan seorang sahabat yang begitu dicintai Rasulullah. Dalam sebuah
sabdanya, Rasulullah berkata: “Siapa yang memusuhi Ammar, maka ia akan
dimusuhi Allah, dan barang siapa yang membenci Ammar maka ia akan di benci
Allah!”[17]
Semoga dengan melihat perjalanan
Sumayyah dan keluarganya radiyallahu anhum, dapat memberikan kita
ketegaran dan semangat dalam mempertahankan keimanan dan keislaman kita. Jangan
sampai hanya dengan sebungkus mie instan saja kita sudah rela meninggalkan
agama islam ini. Karena sangat banyak pada zaman sekarang ini, keimanan dan keislaman
dengan begitu mudahnya di tukar hanya dengan makanan-makanan yang akan habis
hanya dalam waktu satu atau dua hari. Naudzubillahi min zaalik.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mishri,
Mahmud, 35 Shirah Shahabiyah, Jakarta, Al-I’thisom Cahaya Ummat, 2013
Bastoni,
Hepi Andi, 101 Sahabat Nabi, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2012
Hassan,
Muhammad, Sirah Shahabiyah, Jakarta Timur, Pustaka As-Sunnah, 2010
Isa, Muhammad
Husain, Perempuan Istimewa Teladan di Medan Dakwah, Jakarta, Tarbawi
Press, 2010
.
[1]Muhammad Husain
Isa, Perempuan Istimewa Teladan di Medan Dakwah, Jakarta: Tarbawi Press,
2010, hlm. 20.
[2] Muhammad
Hassan, Sirah Shahabiyah, Jakarta
Timur: Pustaka As-Sunnah, 2010, hlm. 601
[3]Muhammad Husain
Isa, Perempuan Istimewa Teladan di Medan Dakwah, hlm. 21.
[5]Mahmud
Al-Mishri, 35 Shirah Shahabiyah, Jakarta: Al-I’thisom Cahaya Ummat,
2013, hlm.136.
[7]Muhammad
Hassan, Shirah Shahabiyah, hlm. 603.
[8]Ibid, hlm. 604.
[10] Muhammad
Hassan, Shirah Shahabiyah, hlm. 605.
[11]Ibid, hlm. 604.
[13]Muhammad
Hassan, Sirah Shahabiyah, hlm. 606.
[14]Ibid, hlm. 607.
[15] Muhammad
Husain Isa, Perempuan Istimewa Teladan di Medan Dakwah, hlm. 25.
[17]Ibid, hlm. 447.
Tidak ada komentar