Header Ads

KETIKA NASIHAT BAIK TAK LAGI DIDENGAR



Allah memerintahkan manusia agar saling menasihati, sebagaimana Allah berfirman dalam Surat Al-Asr : 3,

إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

_"Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran."_


Selain wajib memberikan nasehat ketika diminta, sebagai muslim juga wajib menerima nasehat dengan lapang dada dari saudaranya. Lapang menerima nasehat dari orang lain merupakan tanda dari keikhlasan, keimanan, dan kebersihan hati.


Akal. Hal inilah yang membedakan manusia dengan hewan. Dalam Islam, akal mempunyai peranan yang penting. Salah satunya adalah untuk menjaga kehormatan manusia, sebagaimana hadis dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi Muhammad Saw bersabda: _“Kemuliaan seorang laki-laki pada agamanya, kehormatannya pada akalnya, dan kesempurnaannya pada akhlaqnya.”_


Dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Akal adalah nikmat besar yang Allah subhanahu wa ta’ala titipkan dalam jasmani manusia. Nikmat yang bisa disebut hadiah ini menunjukkan akan kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala yang sangat menakjubkan.  Meski demikian, bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu cocok dengan syariat Allah subhanahu wa ta’ala, dalam permasalahan apa pun.


Namun, bagaimana jika akal digunakan untuk menentang syariat Allah atau mendurhakai-Nya? Atau bahkan menjadikan manusia enggan menerima kebaikan dan nasehat yang datang kepada dirinya? Tidak sedikit kita temui dewasa ini, orang yang mengagung-agungkan akal namun menafikan dalil syar'i ada. Sehingga manusia menjadi congkak dan bahkan melupakan Sang Pemberi Akal.


Sesungguhnya pertentangan akal dengan syariat takkan terjadi manakala dalilnya sahih dan akalnya sehat. Namun terkadang muncul ketidakcocokan akal dengan dalil walaupun dalilnya shahih.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, _“Jika dalil naqli bertentangan dengan akal, maka yang diambil adalah dalil naqli yang shahih dan akal itu dibuang dan ditaruh di bawah kaki, tempatkan di mana Allah subhanahu wa ta’ala meletakkannya dan menempatkan para pemiliknya.”_ (Mukhtashar as-Shawa’iq, hlm. 82—83 dinukil dari Mauqif al-Madrasah al-‘Aqliyyah, 1/61—63)


Abul Muzhaffar as-Sam’ani rahimahullah ketika menerangkan akidah Ahlus Sunnah berkata, _“Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka dan mencari agama dari keduanya. Apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya, mereka terima dan bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala di mana Allah subhanahu wa ta’alaperlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik-Nya. Namun jika tidak sesuai dengan keduanya, maka mereka meninggalkannya serta mengambil al-Kitab dan as-Sunnah kemudian menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya (al-Kitab dan as-Sunnah) tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang hak sedang pendapat manusia kadang benar kadang salah.”_ (al-Intishar li Ahlil Hadits hlm. 99)


Jika terjadi hal demikian, maka jangan salahkan dalil, namun curigailah akal. Di mana bisa jadi akal tidak memahami maksud dari dalil tersebut atau akal itu tidak mampu memahami masalah yang sedang dibahas dengan benar. Adapun dalil, maka pasti benarnya. _Wallahua’lam._
(Azmi/MARWAH)

1 komentar: