Header Ads

Berprasangka Kepada Allah



  
 Allah Subhanahuwata'ala telah berfirman:

  كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ 
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalab sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetabui.” 
(QS. Al-Baqarah: 216)

  Ayat ini berarti umum lagi luas, bahwa perbuatan-perbuatan baik yang dibenci oleh jiwa manusia karena ada kesulitan padanya itu adalah baik tanpa diragukan lagi, dan bahwa perbuatan-perbuatan buruk yang disenangi oleh jiwa manusia karena apa yang diperkirakan olehnya bahwa padanya ada keenakan dan kenikmatan ternyata buruk tanpa diragukan lagi.

Perkara dunia tidaklah bersifat umum, akan tetapi kebanyakan orang bahwa apabila ia senang terhadap suatu perkara, lalu Allah memberikan baginya sebab-sebab yang membuatnya berpaling darinya bahwa hal itu adalah suatu yang baik baginya, maka yang paling tepat baginya dalam hal itu adalah ia bersyukur kepada Allah, dan meyakini kebaikan itu ada pada apa yang terjadi, karena ia mengetahui bahwa Allah Ta’ala lebih sayang kepada hambaNya daripada dirinya sendiri, lebih kuasa memberikan kemaslahatan buat hambaNya daripada dirinya sendiri, dan lebih mengetahui kemaslahatannya daripada dirinya sendiri, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ "Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui". Maka yang pantas bagi kalian adalah kalian sejalan dengan segala takdir-takdirNya, baik yang menyenangkan ataupun yang menyusahkan kalian.

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: 
“Telah jelas perbedaan antara husnuzhan dan ghurur (terpedaya  diri sendiri). Berprasangka baik mendorong lahirnya amal, menganjurkan, membantu dan menuntun untuk melakukannya. Inilah sikap yang benar. Tapi kalau mengajak kepada pengangguran dan bergelimang dalam kemaksiatan, maka itu adalah ghurur (terpedaya diri sendiri). Berprasangka baik itu adalah pengharapan (raja), barangsiapa pengharapannya membawa kepada kataatan dan meninggalkan kemaksiatan, maka itu adalah pengharapan yang benar. Dan barangsiapa yang keengganannya beramal dianggap sebagai sikap berharap, dan sikap berharapnya berarti  enggan beramal atau meremehkan, maka itu termasuk terpedaya." (Al-Jawab Al-Kafi, hal. 24) 

Syekh Shaleh Al-Fauzan hafizahullah berkata: 
“Prasangka yang baik kepada Allah seharusnya disertai meninggalkan kemaksiatan. Kalau tidak,maka itu termasuk sikap merasa aman dari azab Allah. Jadi,  prasangka baik kepada Allah harus disertai dengan melakukan sebab datangnya kebaikan dan sebab meninggalkan kejelekan, itulah pengharapan yang terpuji. Sedangkan prasangka baik kepada Allah dengan meninggalkan kewajiban dan melakukan yang diharamkan, maka itu adalah pengharapan yang tercela. Ini termasuk sifat merasa aman dari makar Allah." (Al-Muntaqa Min Fatawa Syekh Al-Fauzan, 2/269) 

Sebagai manusia sudah fitrahnya suka mengeluh dalam diri ketika tertimpa cobaan atau bakan hal yang tidak kita inginkan.  Pada dasarnya memang setiap orang mempunyai impian dan cita-cita. Untuk menggapainya tentulah harus ada usaha dan sampailah kita pada titik hasil antara terwujud dengan tidak terwujud. Ketika kita mendapatkan hasil yang kurang maksimal yang tidak seusai dengan harapan kita, tak usahlah berontak atas yang diberikan Allah Subhanahuwata'ala. Tentunya di balik itu semua memberikan yang terbaik untuk hambaNya yang senantiasa bersyukur dan berprasangka baik pada Allah. 

oleh : Nuha Bilqisti

Tidak ada komentar