Header Ads

My First “Hijrah”





Aku berjilbab, inilah pilihanku...
Windy, itulah nama yang biasa orang-orang pakai untuk memanggilku. Aku adalah anak ke-4 dari 4 bersaudara yang terlahir dari keluarga yang berkecukupan. Keluargaku beragama islam, namun kami hanya mengenal agama islam dengan segala keterbatasan. Kami tidak terlalu tau islam secara mendalam. Sejak kecil aku tak pernah  tau apa alasan orang yang mengenakan jilbab, yang ku tau benda itu hanya aksesoris yang membuat penggunanya tak nyaman dan merasakan panas. Kedua orang tua dan kakak-kakakku pun tak pernah memberi tau apa itu jilbab dan mengapa orang memakainya. Karena dalam keluargaku, tak ada satu pun yang memakainya.
Dalam dunia pendidikan pun tak pernah ku injakkan kaki di tempat mulia seperti pesantren atau sekolah yang dikhususkan untuk mendalami islam. Sejak SD hingga lulus SMA aku sudah bersekolah di Sekolah Negeri favorit yang hanya membahas tentang agama sekilas saja. Saat aku lulus dari jenjang SMA, aku melanjutkan sekolah di UNJ (Universitas Negeri Jogjakarta) dengan mengambil jurusan Matematika. Ini merupakan saran guru-guru ku di sekolah SMA yang melihat kemampuanku yang cukup bagus di mata pelajaran ini. Akhirnya aku mencoba mengikuti tes masuk dan mendapatkan hasil yang memuaskan. Alhamdulillah
Setelah aku resmi dinyatakan lulus di UNJ, seperti biasa tahap awal yang harus kutempuh adalah menjalani berbagai kegiatan awal yang disebut Ospek. Kegiatan ini merupakan kegiatan pengenalan seluk beluk universitas yang akan aku tempati. Kegiatan ini berlangsung selama sepekan lamanya. Dan akhir dari kegiatan ini adalah mahasiswa diwajibkan memilih ekstrakulikuler. Terdapat berbagai kegiatan ekstrakulikuler yang ditawarkan pada mahasiswa, namun kami hanya diberi kesempatan untuk konsisten mengikuti satu jenis ekstrakulikuler saja. Awalnya aku tertarik dengan kegiatan LKBB (semacam latihan baris berbaris), lalu aku bergabung dengan komunitas ini. Sehari setelah kegiatan LKBB ini berlangsung,ternyata aku mulai merasa tidak nyaman. Karena kegiatan-kegiatan di dalam komunitas  ini memerklukan fisik yang cukup kuat. Seluruh anggotanya dilatih sangat keras untuk membentuk fisik yang kuat, dan ini terlalalu berat bagiku. Akhirnya ku memutuskan untuk pindah memilih ekstrakulikuler yang lebih baik untukku. Kucoba mendaftar dalam kegiatan Pramuka. Dan ternyata kegiatan ini jauh lebih ekstrim dri LKBB, hingga kuputuskan untuk keluar dari kegiatan ini. Pilihan terakhirku tertuju pada kegiatan Ekstrakulikuler yang bernama Komunitas Pecinta Majelis Ta’lim, ternyata disini kegiatannya hanya mendengarkan pengajian dan diberi makan. Akhirnya aku memilih untuk bertahan di tempat ini. Bagaimana tidak ? yang kulakukan disini hanyalah duduk menyimak pembicara dan setelah itu aku mendapatkan makanan. Enak bukan? Meskipun aku bukanlah pendengar baik yang meresapi perkataan pembicara apalagi untuk mengaplikasikannya. Bahkan aku adalah satu-satunya anggota yang tidak memakai jilbab di dalam komunitas ini. Karena niatku hanyalah memenuhi kewajiban untuk mengikuti salah satu kegiatan ekstrakulikuler di tempat ini.
Tak terasa Sebulan aku menjalani kuliah di UNJ, tentunya aku sudah mempunyai banyak kawan, salah satunya adalah Agung. Dia adalah teman dekatku. Layaknya teman yang sudah lama bersama, kami melakukan berbagai aktivitas bersama-sama, seperti belajar, jalan-jalan, nonton, dan aktivitas lainnya. Namun, kedekatan kami mulai memudar seiring berjalannya waktu. Semakin lama aku berada dalam komunitas pecinta majelis ta’lim, semakin banyak pula ceramah-ceramah yang aku dapatkan dalam kegiatan-kegiatan pengajian yang aku ikuti. Dan dari sekian banyaknya itu, aku semakin tersentuh dan rasa penasaranku semakin dalam ingin mencari kebenaran agama Islam. Cita, salah satu temanku dalam komunitas ini sering meminjamkan buku tentang berjilbab padaku. Setelah ku baca, pahami , dan mengerti, akhirnya aku memiliki keinginan untuk memakai jilbab. Nah, inilah salah satu faktor yang membuat aku dan Agung mempunyai jarak. Ia tidak suka dengan penampilanku dengan menggunakan jilbab, katanya “penampilanmu norak, kamu bukan windy yang dulu, ga asyik ah!”. Yah, mungkin inilah ujian awal untukku berubah pada tahap yang lebih baik. Hingga suatu hari, kuputuskan untuk menggunakan cadar. Spontan, tak hanya Agung yang mencela penampilan baruku, banyak mahasiswa lain yang mengolok-ngolok penampilanku ini. Hari-hari berlalu dengan hal yang sama, semakin banyak orang-orang yang mencela dan memaki penampilanku. Satu orang yang terus memotivasiku untuk bertahan dengan jilbab dan cadarku, yaitu Cita. Ia menceritakan pengalamannya yang sama sepertiku tentang  pertama kali memakai jilbab. Namun, aku tidaklah sama dengan Cita. Aku tak bisa setegar Cita menghadapi celaan yang tiap hari tiada henti. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari UNJ dan masuk universitas  lain di kota Solo. Tak bertahan lama aku tinggal di tempat ini, hanya satu minggu waktu yang aku lalui disini, aku sudah merasakan ketidaknyamanan. Aku pun putus sekolah dan hanya tinggal di rumah. Setiap hari aku hanya melaluinya dengan membaca buku-buku tentang islam.
Suatu hari  kuputuskan untuk mencari tempat kuliah yang berbasis pesantren. Namun, ternyata keluargaku mengancam takkan membiayai kuliah jika aku memilih pesantren. Aku di landa kebingungan yang sangat kuat. Tak tau langkah apa yang harus ku pilih. Keesokan harinya, pertolongan Allah benar-benar datang. Salah seorang temanku memberitahuku tentang tempat kuliah di Sukabumi bernama Ar-raayah yang berbasis pesantren gratis sepenuhnya dan pengajarnya pun langsung didatangkan dari Kairo. Ini merupakan berita yang sangat bagus untukku. Namun, lagi-lagi kendala yang ku temui masih ada,aku tak mungkin berangkat untuk tes ke Sukabumi tanpa uang sepeserpun. Aku memutuskan untuk menjual laptop pemberian ayahku untuk membeli tiket kereta menuju Sukabumi. Alhamdulillah aku berhasil mnenuju sukabumi, mengikuti tes masuk dan akhirnya dinyatakan LULUS. Ternyata Allah tunjukan tempat untukku menuntut ilmu agama islam.
Tempatku kali ini memang tempat yang selama ini aku inginkan. Disini aku mempelajari berbagai ilmu agama termasuk bahasa arab. Banyak diantara teman-temanku yang mengira bahwa aku sudah mahir dalam bahasa arab. Padahal, jangankan untuk berbahasa arab, untuk menulis bahasa arab yang benar saja sangatlah sulit. Pembelajaran awal tentang menulis kata-kata bahasa arab, aku mendapat nilai 0 alias salah semua. Begitupun pembelajaran kedua. Hingga teman-temanku menertawaiku karena tidak bisa menulis dan berbicara bahasa arab. Banyak diantara mereka yang berkata “ masa sih pake cadar ga bisa bahasa arab”, “ ngapain pake kerudung gede sama cadar tapi nulis bahasa arab saja tidak bisa”, “harusnya kamu malu pakai cadar tapi ga bisa bahasa”, dan masih banyak celaan-celaan dari teman-teman. Ku putuskan untuk privat pada salah satu ustadzah (pembimbing) disana. Setiap malam aku datang ke kamarnya untuk belajar menulis bahasa arab yang akan diucapkannya. Hari pertama aku belajar, hasilnya salah semua, hingga hari ke 15, aku mulai lancar dalam menulis bahasa arab. Nilai penulisan bahasa arab di kelas ku juga mulai membaik. Begitulah aku terus berjuang untuk belajar bahasa arab dan mendalami ajaran agama islam di tempat ini.
2 tahun kemudian....
Pendidikanku di tempat ini sudah berlangsung 2 tahun, berbagai rintangan aku lalui dengan kesabaran dan ketekunan. Aku berusaha untuk terus belajar untuk bertahan di tempat ini. Karena jika nilaiku menurun, konsekuensinya adalah keluar dari tempat ini. Pada tahun kedua, aku memutuskan untuk meneruskan kuliah di tempat lain, yakni di jakarta. Salah satu tempat kuliah yang hampir sama dengan Ar-raayah namun ini diskhususkan di bidang dakwah. 2 tahun lamanya,akhirnya aku dapat menuntaskan tugas akhir berupa skripsi dan sidang. Tibalah hari yang ia tunggu-tunggu, prosesi wisuda yang tanpa ia duga menjadi lebih special dari yang ia duga. Kedua orang tuaku datang menyaksikan prosesi wisudaku hingga akhir. Dan ucapan yang tak terduga pula keluar dari mulut seorang ayah yang amat aku cinta,
 “ maafkan ayah nak, semula ayah tidak yakin engkau bisa menempuh pendidikan di jalur pesantren dan mendalami ilmu agama seperti ini. Namun, semua ini adalah bukti keberhasilan anak ayah yang sangat ayah cintai. Berdakwahlah di jalan Allah nak, teruslah jadi anak yang berbakti pada Allah dan orang tua mu” Ucapan sang ayah terasa bergetar dengan tetesan-tetesan air mata kebanggaan melihat keberhasilan putrinya yang sangat ia cintai.
Kini bertambahlah dukungan perjuanganku dari orang-orang tercinta, tak lain Keluargaku yang sangat kucintai.
Sedikit demi sedikit, ku ajarkan pada keluargaku ilmu-ilmu agama yang kudapat. Hingga akhirnya Ibu dan kakak perempuanku memakai jilbab meskipun belum memenuhi syari’at memakainya. Subhanallah, rencana-Nya benar-benar indah. Allah memberikan kado terindah untuk perjuanganku selama ini.

Tidak ada komentar